Tradisi Nekang Galungan
Masyarakat Bali
masih menjunjung tinggi nilai-nilai sosial budaya yang berkembang sejak dahulu.
Salah satunya tradisi nekang saat Hari Raya Galungan meski tidak disebutkan
dalam lontar namun masih lestari sebagai warisan budaya yang menandakan seorang
pengantin baru sudah turun bermasyarakat.
Bukti
ajegnya tradisi nekang bagi pengantin baru yang pertama kali melewati Hari Raya
Galungan dan bagi pasutri yang memiliki anak pertama bisa ditemui di Br. Dinas
Umabian, Ds. Peken Belayu, Marga, Tabanan. Saat ini, ngejot tumpeng dilakukan
pada hari Penampahan Galungan siang atau sore hari ketika masyarakat telah
selesai melakukan aktivitasnya mengolah
daging atau membuat sate untuk persiapan banten Galungan. Ada juga sebagian
kecil yang datang bertepatan dengan Hari Raya Galungan, setelah selesai
melakukan persembahyangan. Biasanya mereka yang datang bertepatan dengan hari
Galungan adalah keluarga pengantin yang tinggal di luar banjar bersangkutan.
Pada
Selasa (28/08) lalu, satu persatu masyarakat se-Banjar Umabian mulai
berdatangan ke rumah pengantin baru, Ida Bagus Gede Widiantara. Jarak hari
pawiwahan dan nekang Galungan ini memang sangat dekat selang 5 hari dari hari
pawiwahannya pada (23/08) lalu. Tradisi ini cukup unik karena berlaku bagi
semua masyarakat di banjar tersebut. Jika jumlah pasangan yang nekang lebih
dari satu, biasanya akan didatangi satu persatu dari rumah yang jaraknya
terjauh atau terdekat.
Seperti
yang terjadi di Br. Umabian, pasangan yang nekang berjumlah 5 pasang. Sehingga
penulis mendatangi satu persatu dari yang jaraknya terjauh dari rumah penulis. Tumpeng
yang dibawa sesuai dengan jumlah pasangan yang nekang. Isi dari tumpeng yang
dibawa sesuai dengan kemampuan, ada yang membawa beras, jaja gina jaja uli di bawah tumpeng lengkap dengan sampyannya yang
biasanya dihiasi warna warni perambat.
Masyarakat
yang berfikir praktis biasanya membawa satu buah sampyan tumpeng pada saat
ngejot. Selanjutnya hanya isi tumpengnya yang diserahkan dan sampyannya dibawa
kembali ke tempat nekang yang lain.
Bukan
hanya ibu-ibu yang melakukan ngejot tumpeng, sebagian mereka adalah remaja yang
mewakilkan biasanya datang secara berkelompok sehingga terlihat suasana
kebersamaan di hari nekang.
Dahulu
masih terlihat perbedaan masyarakat nekang dengan yang tidak, hiasan penjor
biasanya menunjukkan identitas sebuah rumah melaksanakan nekang Galungan.
Berbeda dengan perkembangan saat ini. Masyarakat sudah semakin kreatif dan
seolah berlomba-lomba membuat penjor yang bagus. Sehingga agak susah dibedakan,
namun hal ini bisa diatasi dengan mengetahui informasi siapa saja yang nekang.
Persiapan
bagi yang empunya karya nekang, bale dangin digunakan sebagai tempat nekang
tampak dihiasi pengangge bale. Jerimpen, gebogan dan hiasan lainnya terlihat
semarak menghiasi suasana nekang. Biasanya tape jaja uli selalu disiapkan
keluarga pasangan yang nekang, ini tidak ada batasannya sesuai dengan kemampuan
keluarga tersebut. Tape inilah yang diberikan sebagai balasan tumpeng yang
dibawa oleh orang yang ngejot tumpeng. Suasana penuh kekeluargaan dan keakraban
mewarnai suasana nekang.
Tradisi
nekang masih terpelihara hampir di semua daerah di Bali. Masyarakat tetap
melanjutkan kebiasaan yang sudah diwariskan secara turun temurun dari
leluhurnya. Seperti di Br. Denbantas, Tabanan, tradisi nekang juga masih
berjalan. Hanya saja ruang lingkupnya semakin dipersempit karena jumlah
banjarnya cukup besar. Masyarakat yang ngejot tumpeng di banjar ini hanya
keluarga bersangkutnya yang jumlahnya juga cukup besar mencapai kurang lebih
delapan puluh KK.
Ngejot tumpeng sebagai tanda pengantin baru
sudah mulai bermasyarakat juga menjadi ungkapan berbagi kebahagiaan dan ucapan
selamat bagi pasangan tersebut. Serta penukar dari tumpeng tersebut berupa tape
ketan/injin sebagai jawaban untuk membalas doa yang mereka berikan. Semoga
kebahagiaan selalu menemani hari-hari pasangan baru tersebut.
0 Response to "Tradisi Nekang Galungan"
Post a Comment